...
Aku terbaring dalam keadaan penuh amarah, sedih, dan segala bentuk emosi negatif. Dipaksakan cepat raga ini untuk bangkit sekadar memperhatikan sebuah kebenaran. Kebenaran di depan sebuah kaca yang aku ratapi dalam setiap lekuk rupanya.
"Kamu tidak memiliki siapapun atau apapun di dunia. Bahkan rupa yang kamu lihat di depan inipun bukan milikmu." ujarnya membentak. Lantas, aku ini bagaimana? Tidakkah satu molekul ataupun sel dapat rupanya aku klaim sebagai kepemilikanku? Ternyata tidak, aku hanya bernafsu untuk diakui ada dan mengadakan.
Aku terlalu banyak berharap di dunia yang terlanjur paradox ini. Semakin lama masa bergerak, kamu mulai terasa asing. Berlari ke sana ke mari, menopangkan jiwa pada nasib yang tidak pernah konsisten memutuskan suatu hal. Satu takdir yang seharusnya stagnan memberikan kebenaran rasanya pun hanya kepalsuan sampai tumbuh kebenaran-kebenaran baru nantinya.
Gelombang rasa, atau bisa kamu sebut sebagai emosi itu, hanya sebahagian kepalsuan dari keterbukaan hampa dunia. Jiwamu hanya menumpang pada seonggok raga yang sepatutnya membusuk dimakan rotasi dan revolusi bumi.
Lahir ataupun mati, alfa dan omega, yang bermula juga berakhir. Kesepakatan konsensus yang hanya bagian dari kompromi setiap insan yang terlalu lama menuntut kepatutan diri. Jika dirasa perlunya sebuah pengakuan, sebuah kemunafikan saat mengetahui ketiadaanmu yang sesungguhnya harus diterima dengan lapang dada.
Luas lapang mana lagi yang harus dijejalkan agar semakin paham kondisi ini harusnya dibiarkan saja mengalir? Tanpa usaha, dengan matinya gairah, ataupun tidak menemukan bagian yang memenuhi suatu ruang, baiknya diketahui tetaplah membuat kamu ada.
Dia berseloroh manja mengitari turbulensi kerangka ruang dan waktu yang tidak punya kejelasan itu. "Setidaknya kamu berusaha, ucapkanlah sesuatu, atau kamu bisa perbuat yang kamu yakini. Berhasil atau gagalnya tidak akan kamu ketahui jika tidak mencobanya, bukan?" ujarnya sambil menopangkan dagu di muka.
Bohong! Kamu bohong mahluk jahanam! Usaha mana lagi yang harus dilakukan untuk mengetahui aku sudah disiksa oleh harapan. Aku selalu bertemu dengan kenyataan pahit yang di awalnya terasa menyegarkan seperti mineral dingin yang murni.
Aku menolak segala ucapan palsumu yang sedari awal hanya menginginkan sebuah tontonan. Tontonan kepura-puraan dari drama genit khas pelaku kompromis dunia untuk mengejar keinginannya. Direlakan terlihat buruk sambil tidak memperdulikan apapun kata nuraninya, hanya demi sebuah obsesi.
Ada lagi yang menyakini mengakhiri semuanya agar kembali seperti biasa, normal tanpa ada yang perlu dikorbankan. Dipengaruhinya satu persatu, namun gagal. Dianggap gila ataupun tidak punya keberanian menghancurkan yang sudah ada. Lebih seperti anggapan kebodohan karena berbeda juga tidak tahu menahu posisi dalam drama genit tersebut.
Sayangnya dia mati, memberikan tangis kepada sekeliling yang awalnya mencerca dan menertawakan. "Sudah kuperingatkan bukan sedari awal menyerah mendobrak kebenaran demi perdamaian!" teriaknya memarahi, namun sebenarnya menangis meraung. Mulai bertanya, kenapa tidak memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk berada di keberpihakan yang sama.
Tidak ada, semuanya diputar lagi oleh pembuat skenario agar muncul plot-plot baru. Ternyata buruk, jawabannya sama saja sedari awal. Tidak ada eksistensi mutlak yang bisa kita perjuangkan bersama. Hanya berbeda kondisi namun sama aktor. Ataupun bisa juga sebaliknya, berbeda aktor namun dalam kondisi yang sama.
Lantas siapakah pemilik dari segala yang ada? Aku saja tidak diberikan kesempatan untuk mengklaim apapun di dunia ini. Kembali lagi aku bertanya, "dia itu apa, atau, dia itu siapa? Bolehkah aku berkenalan, sekedar mengajaknya berdialektika?"
Rasanya semua palsu saat sebuah ritual-ritual tempramen yang hanya mengandalkan kepatuhan itu dibesarkan. Atau usaha menerjang rantai penderitaan agar mendapatkan peluang yang lebih baik di masa depan. Riaknya tidak dipedulikan, asalkan itu sama dengan bisa bertatap muka. Coba untuk menguji dan/atau mempelopori sogokan agar dapat punya kuasa lebih dibandingkan yang lain.
"Tidak, sudah cukup. Kamu harus menyerah." Kembali pantulan kaca itu berteriak. Biarkan saja tubuhmu dibakar habis oleh keputusasaan, biarkan saja semuanya berjalan sesuai skenarionya. Bukankah sedari awal...
/Aku tidak akan bisa berdaya lagi. Bisa besok, hari ini, atau rupanya kemarin aku sudah mati. Namun, sekejam apapun yang sudah terjadi, aku ikhlas./
-Terbelakang dalam emosi
-Termarjinalkan dalam kemampuan
-Terdesak dalam ketidakpastian
-Termabukkan dalam harapan semu
-Terluka dalam obsesi perih
"Ternyata semuanya adalah nol yang terlihat sebagai nilai." ujarku dalam sudut kamar sambil menangis. Aku pun bisa tertidur dalam kematian dengan tenang.
-Losersweepers-

Komentar
Posting Komentar