"Gereja itu bukan soal bangunan namun orang-orangnya." Itulah ucapan yang sering terdengar dari banyak orang saat diriku kecil. Menceritakan gereja yang sekarang berarti mengulik kisah bagaimana dulu reformasi dilakukan para "pembaharu". Mereka merubah stigma "istana suci" para Vatikan menjadi "persekutuan umat" yang tulus dengan kepercayaannya.
Kini 500 tahun reformasi gereja sudah berlalu dan masih banyak cerita kecil menggelayutinya. Cita-cita Martin Luther, Yohanes Calvin, Ulrich Zwingli, dan lain-lain untuk menjadikan gereja bersama umat sebagai tempat berjuang lepas dari penindasan dan perilaku korup kekuasaan kini terlihat seperti angan belaka.
Pandanganku bermula untuk mengatakan yang terjadi di gereja tidaklah berbeda jauh dengan otoritas kepercayaan/keagamaan lainnya, formalitas upacara keagamaan dan pragmatisme patron yang menguasainya. Gereja seharusnya memiliki keberpihakan kepada rakyat tertindas serta memiliki sikap berada di tengah-tengah perjuangan umat. Bukannya malah bermain aman dalam istana bangunannya.
Gereja secara radikal mengubah pemaknaannya yang dari "umat persekutuan" menjadi "gedung kelembagaan otoritas". Inilah yang dilawan oleh pembaharu reformasi yang merasa otoritas gereja melahirkan perilaku korup dan menjauhkan gereja terhadap perjuangan umat.
Gereja tidak bisa hanya menyandarkan diri pada kenyamanan istana dan khotbah eksklusif terhadap umat kristiani. Gereja harus berada di tengah-tengah massa yang melawan! Tidak di depan, apalagi di belakang. Berdasarkan otoritas Alkitab lah maka perjuangan yang selama ini diceritakan adalah wujud nyata dari perjuangan Yesus ke dunia untuk melakukan pembebasan.
Adapun posisi otoritas yang dijelaskan oleh Luther seharusnya ialah Tuhan dengan perantaranya adalah Alkitab. Perjuangan umat Kristen dengan berpedoman dengan ajaran Alkitab adalah bentuk dorongan yang nyata soal perjuangan umat dan reformasi, bahwa "gereja memiliki keterkaitan erat dengan perjuangan rakyat tertindas". Posisi imam dan pendeta sebagai individu maupun bagian khusus gereja menghilangkan makna sebenarnya siapa yang memiliki otoritas.
Gereja seharusnya menjadi salah satu kekuatan melawan akar penindasan! Nyatanya, sekarang gereja masih menjaga jarak dan keangkuhannya sebagai otoritas semu kepercayaan umat! Dibanding merangkul massa rakyat yang terkungkung problematika dan pusaran konflik, gereja memilih menjalin mesra hubungannya dengan kekuasaan. Pembaharuan gereja masih dianggap sebagai seremonial belaka dan merajut romantisme masa lampau.
Dominasi praktek-praktek upacara kepercayaan dan liturgi rupanya mematikan akal sehat. Permasalahan massa rakyat dibiarkan tenggelam dan gereja 'ogah' sedikitnya mengintip. Gereja merasa dirinya adalah universe yang berbeda dan bisa masuk kapan saja asal berhubungan dengan kepentingannya.
Bagiku cuma satu otoritas tertinggi, yaitu Tuhan dengan kitabnya. Selebihnya hanyalah permainan cantik oligarki bersama sekumpulan manusia elit berjubah penjaga otoritas semu gereja. Berbagai macam jenis gereja bukannya menunjukkan keberagaman umat namun menjadikannya objek kekuasaan yang diperebutkan.
Ini bukan generalisasi karena makna reformasi Gereja masa lampau pun tidak terlepas doktrinal teologi, perlawanan kepada korupnya pimpinan umat, atau keberpihakan gereja yang mendukung kekuasaan. Nyatanya masih terjadi. Gereja terpecah dengan memilih memperebutkan eksistensi. Gereja gagal memaknai reformasinya sendiri. Ini jelas tidak sesuai dengan visi misi kedatangan kristus ke dunia.
Apakah seperti gereja menjadi kendaraan perjuangan? Jawabannya tidak, gereja sendiri ialah persekutuan individu-individu. Lahirnya perjuangan merupakan kesadaran individu dalam persekutuan tersebut. Sehingga pemaknaannya menjadi "orang-orang yang membentuk persekutuan kristen dengan kesadarannya berjuang melawan akar penindasan." Terlihat seperti kendaraan? Lebih tepatnya jalan yang dibangun bersama oleh persekutuan untuk melawan!
Terus sebenarnya apa yang harus kita lakukan? Umat sudah sepatutnya menciptakan "revolusi" sebagai langkah persatuan. Bangun persatuan umat yang dipecah oleh kepentingan nama-nama gereja yang berbeda. Revolusi lahir dari kesadaran massa dan tulisan ini tidak lebih sebagai pemantik kecil sekaligus pengingat umat kalau gereja belum berubah, sama seperti abad pertengahan dulu. Semua harus kembali dalam kerangka perjuangan umat.
Perjuangan umat merupakan bagian dan keterikatannya dengan perjuangan kelas. Gereja berdiri bukan sebagai "tempat prosesi ibadah" namun seharusnya sebagai "persekutuan umat" yang realitanya mayoritas berasal dari massa rakyat yang tertindas. Gereja harus berdiri dan memiliki keberpihakan kepada permasalahan rakyat. Berpihak kepada kelas buruh yang mendapat upah murah, kaum tani yang tanahnya dirampas, kaum nelayan yang sarana produksinya rusak, rakyat miskin kota yang disekap dalam gudang kemiskinan, masyarakat adat yang kehilangan tempat hidup, dan pemuda-pelajar yang kesulitan mendapatkan pendidikan juga pekerjaan.
Memiliki sikap terhadap yang mana harus dibela! Tani yang dirampas lahannya atau perusahaan yang seenak jidat menggusur? Buruh yang diupah murah oleh kebijakan penguasa atau pengusaha yang bebas mengeksploitasi pekerjanya? Kontradiksi ini harus jelas.
Kita sering mendengar pandangan seperti "gereja harus netral" "gereja ga boleh main politik" "politik haram bagi agama". Keadaan seperti itu membuat gereja seperti lemah dan tidak memiliki kekuatan apapun. Sama halnya dengan analogi 'mobil dalam posisi netral' yang membuatnya tidak bisa bergerak, gereja dianggap tidak boleh memiliki peran dalam membebaskan kaum tertindas sebagai sikap sosial-politiknya. Gereja diharapkan diam dengan hanya mengurusi acara keagamaan.
Padahal ajaran Kristen berbicara soal keberpihakan kepada rakyat tertindas. Maksud dalam tidak memiliki sikap politik seharusnya diartikan ketika kontestasi elektoral (pemilu) yang erat kaitannya dengan perebutan kekuasaan para borjuasi atau permintaan dukungan dari penguasa untuk praktek-praktek penindasannya. Fakta lain yang menyakitkan adalah banyak gereja malah melakukan dukungan kepada borjuasi elit tersebut, bukan kepada rakyat.
Lewat kerangka perjuangan gereja, "persekutuan umat" lah yang menempatkan posisinya dalam membawa keberpihakan ini. Aku sangat yakin masih ada imam atau pendeta yang siap berjuang, sama halnya perjuangan gereja di negara-negara Amerika Latin. Bahwa gereja di negara-negara Amerika Latin tersebut memberi contoh bagaimana imam di sana menyatakan sikap bersama umatnya untuk melawan kediktatoran borjuis saat itu. Bukan hanya satu namun persatuan luas banyak negara. Mereka menyebutnya "teologi pembebasan". Bahwa gereja dengan otoritas Alkitab bersama persekutuan umat harus berjuang bersama melawan akar penindasan.
Menurut Luther, gereja bukanlah otoritas namun Alkitab yang mengembannya. Maka perjuangan gereja lewat keberpihakannya kepada rakyat tertindas haruslah dengan pedoman Alkitab yang akan membawa kita pada reformasi gereja yang sebenarnya.
Bagaimana dengan klaim-klaim keterlibatan gereja dalam perjuangan rakyat? Dalam beberapa tahun ini memang terlihat gereja-gereja yang ikut dalam perjuangan kelas tertindas, baik lewat khotbah progresif maupun advokasi struktural. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan atas rahmat baiknya menunjukkan gereja-gereja tersebut berada di sisi umat. Yang menjadi pertanyaan, apakah sudah cukup sampai di sana? Inilah yang harus ditelusuri dan dicermati bersama. Ini bukan hanya membicarakan sikap individu patron atau tokoh gereja, namun sikap keseluruhan umat! Juga bagaimana setiap keberpihakan tersebut haruslah konstan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari gereja.
Aku memberi kritik kegagalan bukan hanya pada satu rezim Gereja, entah itu Katolik Roma, Ortodoks Timur, Protestan, ataupun rezim lainnya. Ini adalah wacana besar kepada seluruh gereja yang ada, yang masih mempercayai kristus telah membawa keselamatan dan arahannya akan pembebasan di dunia ini. Maka kembalilah menjadi Gereja awal dunia, seperti persekutuan awal Simon Petrus dan umat kristiani yang menjadikan perlawanan terhadap Kekaisaran Romawi yang menindas! 500 tahun adalah evaluasi bagi keberpihakan dan posisi Gereja hari ini.
Oleh hanya karena itu, jangan hanya asyik bernyanyi rohani dan berlomba menunggu baptisan. Nanti kamu akan terlambat menyadari bahwa yang dikehendaki-Nya bukan cuma itu saja! Seharusnya, "gereja adalah kawan berjuang yang paling setia!"
-Robson-

Komentar
Posting Komentar