Bacalah ini di masa depan, tepat di muka makam dan batu nisanku.
Dengarkan lah sambil diiringi lagu 'Siempre' nya Ras Muhamad
Hai kameradku, apa kabarmu?
Rindu selalu buatmu, yang dahulu selalu memegang erat bahuku, menepuk keras dadaku. Kini kita terpisah, melewati ruang dan waktu. Yang tidak pernah kita tahu sampai mana dia tersapu.
Aku tidak pernah baik-baik saja selain bersamamu. Kala kita menginjak tanah dengan rapatnya, membuat border kerakyatan yang begitu hebatnya, sampai langkah-langkah lucu yang membuat serasa tidak kaku. Sudah sering kulihat matamu sayu. Lucunya, tetap tegar melangkah seperti orang yang dipompa sabu.
Kali ini aku hanya remahan pasir. Dihempas dunia bagaikan kerikil. Sama seperti dulu kita kaji, oh ternyata benar kita sangat kecil. Kita ini memanglah korban kuasa yang membuat rasa kita terkucil.
Aku ingin bertemu bersamamu, entah kapan suatu hari. Saat bahasan kita tidak lagi pedih membahas revolusi. Namun, gambaran kehendak bebas manusia yang terkesan utopis di langit tempat bintang itu berasi. Aku dan kau bercanda tawa kembali, mungkin di neraka nanti.
Kamu harus yakin kawan, tidak ada keyakinan yang sia-sia. Seberapa jahat dunia menghinamu, seberapa ganas manusia menginjak jari jemarimu, kamu haruslah selalu percaya. Akan ada hari esok yang akan membuatmu merebah dengan lega. Akan datang masa yang paling indah akan kamu bawa.
Aku bukanlah patron, aku bukanlah opium, aku juga bukan dewa, aku hanyalah sampah yang kebetulan memiliki kemasan rapi. Kupingku sangat rentan untuk menjadi subjektif melihat satu persatu semuanya pergi. Ditinggalkan siapapun itu sudah pasti. Tetapi, untukmu itulah suatu pengecualian, kamulah bentuk kesetiaan yang paling sejati.
Papua, tanah tergusur, pabrik penyiksaan para penyamun, sampai ruang istana lalim pernah kita rasakan. Rasanya menjadi pembebas bagi diri sendiri dan bersama banyak massa itu menyenangkan bukan? Ayolah, kamu jangan terlalu menjadi manusia yang sungkan. Kalau suatu saat harus mati di neraka paling menakutkan, itulah tujuan yang kita impikan!
Buku bacaanmu itu berkata benar. Nasihat dari seseorang kepadamu itu juga harus kamu dengar. Suatu saat hidupmu haruslah jadi pilar. Yang diciptakan Tuhan agar buat semesta bergetar!
Kalau memang harus terjatuh, itu tak sia-sia. Wajar kamerad, kita ini hanya manusia. Yang harus siap menerima segala terpaan dunia. Matamu, mulutmu, tenaga dalammu, bahkan naluri memberontakmu laksana buah dari tanaman paling berguna...
Aku sudah ikhlas melepaskan rasa sakit apapun yang pernah kuterima. Aku yakin kamu pun begitu jua. Aku jadi terinspirasi dengan raja-raja ataupun alim dunia yang berakhir moksa. Terlepas, bebas, dan akhirnya bisa menangis bahagia kalau tugas di dunia berakhir juga.
Tulisanmu itu menyentuh relungku yang paling dalam. Seperti ditarik mineral magnet paling kuat, aku serasa tenggelam. Entah bagaimana dunia sudah mengajarimu sampai bisa menyesap dunia paling asam. Aku bangga denganmu kamerad, yang kukenal dari Cikeusal paling kelam.
Kalau suatu saat kamu menemuiku dalam bentuk jasad. Itu haruslah kamu rayakan dengan kuat. Tak perlu menangisi apapun, ini keyakinan yang kita pupuk dengan kuat. Tak boleh ada penyesalan, tak boleh ada keraguan, apalagi ketakutan, ini sudah ditempuh dengan bulat.
Aku masih yakin Papua akan merdeka. Aku sangat percaya bapak ibu tani akan makmur sejahtera. Aku juga membayangkan dengan gagahnya kelas pekerja menjalankan mesin dengan riang gembira. Apalagi melihat masyarakat adat juga kaum marjinal berkeliling mesra melihat dunia sudah berganti rupa.
Kamu harus percaya kawan!
Kamu harus yakin kamerad!
Akan ada hari esok yang cerah!
Selalu ada hal-hal baik bagimu yang senantiasa terbiasa bergelora!
Panji-panji hitam ataupun merah, iyalah kawan kita paling setia!
Camkan itu, Abah!
Madagascar, 04 Juli 2075
Stuppamu yang dulu kamu jejali sayur asam, wuahahaha...

Komentar
Posting Komentar