Langsung ke konten utama

Kidung Iblis pada Dewinya



Dahulu, aku ialah iblis yang kamu sukai. Di saat yang lain memandang burukku, kamu menilai dengan indah duniaku. Namun entah bagaimana, dalam sekejap dunia menyadarkanmu menjadi arus yang sama dengan yang lain. 


Aku kehilangan arah, mencari kamu yang dahulu memberiku sentuhan surgawi yang selalu kurindukan dalam nerakaku. Pilihan sudah diputuskan, kamu pergi menjadikan ini hanya pengalaman, di saat aku memandang ini ialah jalan kebenaran. 


Tak apa, sudah ada pangeran nirwana yang akan menjemputmu dengan kereta kencananya bersama dengan kesucian dan kedamaian yang mungkin kamu rindukan. Tak ada itu dalam nerakaku, hanya aku dengan api-api panas yang penuh kekosongan. 


Sampai tiba aku mengetahuimu bahagia, rasaku sudahlah terbiasa dengan hampa. Aku kan pergi menjadi organik yang kan melebur pada semesta. Hingga yang tersisa adalah roh yang akan terus menyanyikan lagu-lagu rindu pada ciptaan yang paling tercinta. Kamu tak akan menyadarinya, namun itulah yang tersisa aku titip pada dunia.


Kelak kamu akan melupa, di saat tangan-tangan halus merabamu dengan manisnya. Aku meletakkan sebuah sumpah, kalau kamu ialah duniaku yang indah. Sampai di akhir hayatku tiba, setiap rapalan mantra untuk kamu tetap tenang dalam balutan cinta yang lainnya. Aku kan menjadi prasasti, kamulah puan yang akan selalu terberkati.


Panjang umur dewi yang pernah menginjak lantai nerakaku. Kamu kan bahagia pada putusan yang kamu buat sebagai takdir dunia. Arus yang terus mengalir, menjadi kisah yang terus berulang, terus sama, hingga dunia kan berakhir jua.


-Tuppa-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Pengalaman Mengajarkan Kalau Kita Tidak Pernah Belajar"

Manusia hidup dalam satu garis lurus kehidupan. Garis itu tidak pernah benar-benar lurus sampai kita menemukan rute yang kita inginkan. Entah itu bernasib mujur ataupun sangat menyakitkan, tugas kita hanya memilih yang paling memungkinkan untuk menang. Malangnya manusia yang belum menemukan mesin waktu. Tidak bisa membaca masa depan, sehingga hanya bisa berspekulasi akan peluang keberhasilan pilihan. Begitupun tidak bisa mundur ke masa lalu, karena hanya membuang waktu merubah yang terlanjur sudah tergariskan. Dalam suatu masa, seorang kawan absurdku pernah dengan percaya diri menggunakan ilmunya membaca garis tangan. Dari sejuta harap akan masa depan yang baik, nyatanya tidak benar-benar membantu kita mengambil keputusan yang benar. Hanya bunyi peringatan supaya jangan menjadi keledai yang jatuh terus ke lubang yang sama. Kata orang bijak, pengalaman adalah guru yang paling terbaik di kehidupan. Nyatanya, guru terbaik itu hanya memberikan satu jawaban mutlak. "Manusia itu terlanj...

Media hiburan eksploitasi kemiskinan

Hari-hari kita selama dan pasca bulan ramadhan beberapa tahun lalu diselingi dengan banyaknya acara hiburan di layar kaca. Acara hiburan yang diproduksi layaknya barang pada pabrik itu sukses mengalihkan waktu kita untuk berdiam diri menikmati suguhan tersebut. Melihat media hari ini, kita harusnya menyadari satu hal. Adanya trend genre acara hiburan yang menurutku sudah berkembang lama dalam industri ini, yaitu mengeksploitasi kemiskinan. Bukan, ini bukan berbicara eksploitasi pekerja dalam relasi produksi pada media tersebut. Tetapi, ini berbicara acara hiburan di media kita yang mengumbar kemiskinan rakyat sebagai strategi menarik minat penonton layarkaca untuk menonton acara tersebut. Acara hiburan yang menampilkan "rakyat miskin" layaknya objek tontonan masyarakat. Diumbar kehidupannya, dari kesusahan hidup sampai aib keluarga. Siapa yang memiliki kesusahan dan aib "terbaik" akan terus diekspos sampai membuat malu mereka.  Kemudian mereka dipaksa mengikuti ...

Aku milik dunia: Siapa aku yang bisa berada?

~So little time, try to understand that I'm Trying to make a move just to stay in the game, i try to stay awake and remember my name But Everybody's Changing, and I don't feel the same~  Keane - Everybody's Changing ... Aku terbaring dalam keadaan penuh amarah, sedih, dan segala bentuk emosi negatif. Dipaksakan cepat raga ini untuk bangkit sekadar memperhatikan sebuah kebenaran. Kebenaran di depan sebuah kaca yang aku ratapi dalam setiap lekuk rupanya. "Kamu tidak memiliki siapapun atau apapun di dunia. Bahkan rupa yang kamu lihat di depan inipun bukan milikmu." ujarnya membentak. Lantas, aku ini bagaimana? Tidakkah satu molekul ataupun sel dapat rupanya aku klaim sebagai kepemilikanku? Ternyata tidak, aku hanya bernafsu untuk diakui ada dan mengadakan. Aku terlalu banyak berharap di dunia yang terlanjur paradox ini. Semakin lama masa bergerak, kamu mulai terasa asing. Berlari ke sana ke mari, menopangkan jiwa pada nasib yang tidak pernah konsisten memutusk...