Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2021

500 tahun reformasi dan gereja masih gagal

"Gereja itu bukan soal bangunan namun orang-orangnya." Itulah ucapan yang sering terdengar dari banyak orang saat diriku kecil. Menceritakan gereja yang sekarang berarti mengulik kisah bagaimana dulu reformasi dilakukan para "pembaharu". Mereka merubah stigma "istana suci" para Vatikan menjadi "persekutuan umat" yang tulus dengan kepercayaannya.  Kini 500 tahun reformasi gereja sudah berlalu dan masih banyak cerita kecil menggelayutinya. Cita-cita Martin Luther, Yohanes Calvin, Ulrich Zwingli, dan lain-lain untuk menjadikan gereja bersama umat sebagai tempat berjuang lepas dari penindasan dan perilaku korup kekuasaan kini terlihat seperti angan belaka.  Pandanganku bermula untuk mengatakan yang terjadi di gereja tidaklah berbeda jauh dengan otoritas kepercayaan/keagamaan lainnya, formalitas upacara keagamaan dan pragmatisme patron yang menguasainya. Gereja seharusnya memiliki keberpihakan kepada rakyat tertindas serta memiliki sikap berada di ten...

Malam natal, pesimisme, dan perjuangan kelas

Shalom  Salam pembebasan nasional! “Akan tiba masanya kita sebagai manusia. Sebagai orang yang mengaku beragama, hanya akan bisa merasa “bahagia” apabila kita mampu seperti Kristus, menjadi miskin bersama orang miskin!” - Amir Syarifudin Harahap - Selamat natal kuucapkan kepada seluruh alam semesta yang mempercayai tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus. Selamat natal juga kuucapkan kepada siapapun yang menyakini tiap-tiap hari adalah kedatangannya di dunia. Selamat natal kuucapkan kepada seluruh umat Kristiani yang setiap harinya sabar menunggu kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya. Selamat natal kuucapkan kepada kelas buruh dan rakyat tertindas sedunia yang merayakan hari kebesaran ini.  Tulisan ini adalah penandaku sebagai umat yang sudah mencapai titik kegelisahan melihat kondisi hari ini. Kondisi yang kuanggap kurang lebih 2000 tahun berlalu sejak kelahiran-Nya, dunia belum menunjukkan perubahan signifikan seperti makna pengorbanan di kayu salib itu....

Membangun yang pernah patah

Aku buka dengan kutipan surat dari Marx kepada Arnold Ruge di Dresden, "pemikiran selalu ada, tetapi tidak semua dalam bentuk yang rasional." Kumpulan pesan-pesan ini lahir dari opini abstrak penulis untuk membangkitkan semangat kamerad berjuang yang sedang patah arang dalam memandang sosialisme di dunia. Juga tidak memiliki referensi manapun selain dari hasil menikmati perjuangan bersama kawan-kawan di Serang Banten. Check it out! ... Dunia yang punya segudang problematika ini menarik untuk dibahas. Lahir dari rasa yang sama, "manusia menginginkan setiap kepentingannya terpenuhi." Namun, belum ada jawaban yang pasti soal mewujudkannya. Yang berkeliaran adalah beragamnya pemikiran dan ide yang tumbuh bersamaan dengan perjuangan, termasuk gagasan sosialisme. Lahirnya gagasan Sosialisme di masyarakat yang menampilkan keinginan membangun dunia yang adil dan sejahtera telah memunculkan banyak simpati. Keresahan bersama memahami sejarah penghisapan manusia lewat metode...

Aku milik dunia: Siapa aku yang bisa berada?

~So little time, try to understand that I'm Trying to make a move just to stay in the game, i try to stay awake and remember my name But Everybody's Changing, and I don't feel the same~  Keane - Everybody's Changing ... Aku terbaring dalam keadaan penuh amarah, sedih, dan segala bentuk emosi negatif. Dipaksakan cepat raga ini untuk bangkit sekadar memperhatikan sebuah kebenaran. Kebenaran di depan sebuah kaca yang aku ratapi dalam setiap lekuk rupanya. "Kamu tidak memiliki siapapun atau apapun di dunia. Bahkan rupa yang kamu lihat di depan inipun bukan milikmu." ujarnya membentak. Lantas, aku ini bagaimana? Tidakkah satu molekul ataupun sel dapat rupanya aku klaim sebagai kepemilikanku? Ternyata tidak, aku hanya bernafsu untuk diakui ada dan mengadakan. Aku terlalu banyak berharap di dunia yang terlanjur paradox ini. Semakin lama masa bergerak, kamu mulai terasa asing. Berlari ke sana ke mari, menopangkan jiwa pada nasib yang tidak pernah konsisten memutusk...

Papua: Terbanglah Cendrawasih

Papua, salah satu kenyataan objektif yang memilukan umat manusia. Satu kata, "Papua", memunculkan banyak arti keperihan yang teramat sangat! Disiksa, dihina, dirampas, diacuhkan, ditelanjangi, dipermainkan, dan ribuan kata yang bisa menggambarkan panorama ketertindasan mereka. Aku bukanlah manusia Papua, pula tidak hidup di pulau terujung timur di Indonesia itu. Tetapi tak perlu menipu diri, karena aku sebenarnya tahu tentang Papua. Papua itu menguak cerita bagaimana manusia di dunia tidak mengerti makna "kemanusiaan"! Di kolom berita, aku membaca bagaimana rezim yang membanggakan diri bisa membangun Papua. Jalan Tol Trans Papua, harga BBM yang disubsidi, kebutuhan pokok yang disupport cukup, pembangunan peradaban yang maju di kota, sampai otonomi khusus yang amat dibanggakan itu. Layakkah kebanggaan itu diberitakan setelah 58 tahun mereka "dipaksa" menjadi bangsa Indonesia melalui "Perjanjian New York 1962" dan hidup dalam penjajahan? Ya, penjaj...

Media hiburan eksploitasi kemiskinan

Hari-hari kita selama dan pasca bulan ramadhan beberapa tahun lalu diselingi dengan banyaknya acara hiburan di layar kaca. Acara hiburan yang diproduksi layaknya barang pada pabrik itu sukses mengalihkan waktu kita untuk berdiam diri menikmati suguhan tersebut. Melihat media hari ini, kita harusnya menyadari satu hal. Adanya trend genre acara hiburan yang menurutku sudah berkembang lama dalam industri ini, yaitu mengeksploitasi kemiskinan. Bukan, ini bukan berbicara eksploitasi pekerja dalam relasi produksi pada media tersebut. Tetapi, ini berbicara acara hiburan di media kita yang mengumbar kemiskinan rakyat sebagai strategi menarik minat penonton layarkaca untuk menonton acara tersebut. Acara hiburan yang menampilkan "rakyat miskin" layaknya objek tontonan masyarakat. Diumbar kehidupannya, dari kesusahan hidup sampai aib keluarga. Siapa yang memiliki kesusahan dan aib "terbaik" akan terus diekspos sampai membuat malu mereka.  Kemudian mereka dipaksa mengikuti ...

Kesadaran Sosial

"Keadaan sosial menentukan kesadaran sosial". Itulah salah satu tesis Marx dalam filsafatnya Materialisme Historis. Bahwa kesadaran bergerak itu bertumbuh ketika massa pun terus menghadapi keadaan sosial yang sudah tak layak dibiarkan. Massa pada setiap zaman selalu menemukan kontradiksi pokok dalam keadaan sosialnya yang menindas sehingga menghadirkan perjuangan kelas. Berbicara kesadaran sosial, saat ini aku menemukan betul pembagian yang nyata dalam penuturan Paulo Freire. Bahwa massa terbagi tiga (3) dalam kesadarannya melihat keadaan sosial. Ada massa dalam kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Yang pertama adalah massa yang "dalam kesadaran magis". Massa ini menurutku merupakan massa yang belum memiliki kesadaran sehingga hanya menitipkan pada daya nalar yang bersifat angan dan candu. Mereka menutup semua logikanya karena menemukan sebuah entitas ataupun kepercayaan kepada keadaan alamiah bahwa perubahan sudah ada yang menentukan. Bukan hal ya...

Berjuang tak nunggu sukses, pak!

Pelajar adalah bagian orang muda yang punya gairah berlebih. Gairah untuk mencari jati diri, berkembang, dan, selalu belajar. Gairah untuk belajar itulah yang bisa membentuk karakter orang muda yang kritis. Dengan belajar, semakin banyak kami tahu akan kebodohan yang diciptakan otoritas. Dengan belajar, terbukalah mata kami akan pembiaran kekuasaan terhadap perut-perut yang lapar. Dengan belajar, terasahlah semangat juang kami melihat dunia tidak seperti yang diajarkan di bangku-bangku kelas. Pelajar menumbuhkan kesadaran kritisnya melihat keadaan sosial. Pelajar menemukan keberpihakannya dan tahu harus kembali pada akhirnya. Di usia yang semuda itu, gairahnya secara biologis menuntunnya untuk melawan! Dia takkan mau membohongi keadaan alamiahnya untuk berbaur, belajar dan berjuang bersama rakyat. Sejarah dunia tidak bisa berbohong, bahwa kaum pelajar adalah bagian perlawanan dan perubahan dunia.  Tetapi, tak semudah itu menumbuhkan kesadarannya. Pelajar berusaha lepas terhadap pen...

Gerakan yang dulu bukannya gerakan yang sekarang!

Dulu seseorang bergerak karena menyadari diri berada dalam keadaan yang mencekam dan penuh dengan penghisapan, barulah kesadarannya tumbuh bersama dengan perlawanannya. Keberpihakan terhadap keadaan sosial lah yang menentukan di sisi ideologi mana dia harus berdiri! Sekarang, semuanya berubah secara kilat. Seseorang bahkan tidak menyadari sedikitpun dirinya berada dalam ruang penindasan sehingga tumbuh menjadi individu yang melawan dengan serampangan. Tahu eksistensi dari eksploitasi, tapi tak mampu menjelaskan bagaimana kondisinya. Tahu ada penghisapan, tapi tak bisa menunjukkan kontradiksi perlawanannya.  Karena apa? Gerakan dianggap sebagai style atau bahkan passion, dianggap orang yang melawan menjadi keren dan terlihat seperti bagian elit. Padahal hal tersebut yang menghancurkannnya. Menjadi massa yang subjektif dan tidak bisa berbaur bersama perlawanan itu. Semua saling memusuhi bila berbeda dan menyukai intrik. Semuanya berlomba menjadi "kiri" dan mencoba meraih "...